Oleh : Dr Melyana R.Pugu, S.IP, M.Si
SEPIRING nasi tampak sederhana. Ia hadir di meja makan hampir setiap keluarga di Indonesia, menjadi simbol kehidupan sehari-hari.
Tetapi dalam politik pembangunan, sepiring nasi bisa menjelma sebagai indikator legitimasi negara, bahkan menjadi cermin hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan ambisi besar: menekan angka stunting, menjamin kebutuhan gizi masyarakat, dan menghadirkan negara di ruang domestik paling intim—meja makan keluarga.
Namun, idealisme di atas kertas sering berbenturan dengan kenyataan di lapangan. Laporan tentang makanan yang tidak layak konsumsi, distribusi yang tidak merata, hingga minimnya pengawasan telah menimbulkan kritik keras.
Bagi sebagian masyarakat, kegagalan kecil ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan simbol kegagalan negara dalam menghargai martabat warganya.
Dalam studi hubungan internasional, konsep keamanan manusia (human security) sudah lama dipahami sebagai perluasan makna keamanan. Tidak lagi semata soal militer atau ketiadaan perang, melainkan tentang kemampuan negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. UNDP pada 1994 menegaskan dua dimensi utama: freedom from fear (bebas dari rasa takut) dan freedom from want (bebas dari kekurangan).
Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, berulang kali mengingatkan bahwa kelaparan sering kali bukan akibat tidak adanya pangan, melainkan kegagalan distribusi dan tata kelola.
Pandangan ini paralel dengan kasus di India, ketika program Midday Meal Scheme yang memberi makan siang gratis bagi jutaan anak sekolah menuai kritik karena buruknya higienitas.
Di salah satu insiden, belasan anak meninggal akibat keracunan. Tragedi itu membuktikan bahwa sebuah program baik bisa berubah menjadi bencana sosial bila pengawasan abai.
Jika kita menilik pengalaman lain, Brasil berhasil membalikkan keadaan lewat program Fome Zero atau “Zero Hunger”. Dengan kombinasi bantuan pangan, subsidi tunai, dan pelibatan komunitas lokal, angka kelaparan nasional turun drastis.
Bahkan, program ini menjadi model yang diakui dunia, sekaligus memperkuat citra Brasil sebagai negara yang peduli pada pembangunan inklusif.
Dalam politik domestik, sepiring nasi bisa lebih penting dari seribu pidato. Barry Buzan, pakar studi keamanan, menekankan bahwa negara modern tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan militer atau simbol formal kekuasaan. Legitimasi lahir ketika rakyat merasakan langsung negara hadir di meja makan mereka. Dengan demikian, keberhasilan MBG menghadirkan nasi bergizi dapat memperkuat legitimasi pemerintah.
Sebaliknya, ketika nasi itu ditemukan tidak layak konsumsi, ia berubah menjadi bumerang. Kepercayaan publik yang rapuh bisa runtuh seketika.
Pertanyaan pun muncul: jika sepiring nasi saja gagal diurus dengan benar, bagaimana dengan janji pembangunan yang lebih besar?.
Pengalaman Amerika Serikat lewat National School Lunch Program patut dicermati. Meski awalnya dikritik, program ini akhirnya bertahan puluhan tahun karena standar gizi diperketat dan pengawasan dilakukan ketat oleh sekolah dan otoritas kesehatan.
Artinya, keberlanjutan program sangat ditentukan oleh konsistensi negara menjaga kualitas. Makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan juga menyangkut martabat manusia.
Deklarasi Universal HAM 1948 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup layak, termasuk pangan.
Jean Drèze, ekonom pembangunan, menekankan bahwa program makan publik harus dipahami sebagai penghormatan terhadap martabat manusia, bukan sekadar proyek birokrasi. Negara lain telah membuktikan hal ini.
Jepang dengan program School Lunch tidak hanya memberi makan, tetapi juga mengintegrasikan pendidikan gizi ke dalam kurikulum.
Anak-anak tidak hanya kenyang, tetapi juga belajar menghargai makanan sehat sebagai bagian dari budaya dan martabat.
Bandingkan dengan kasus di beberapa negara Afrika Sub-Sahara, di mana bantuan pangan internasional yang tidak terkelola justru memperburuk konflik sosial.
Perbedaannya terletak pada tata kelola dan keseriusan pemerintah dalam menjaga martabat rakyatnya. Roland Paris, akademisi hubungan internasional, menegaskan bahwa stabilitas sosial di wilayah rawan konflik sangat bergantung pada kemampuan negara menyediakan kebutuhan dasar.
Jika layanan dasar seperti pangan diabaikan, potensi instabilitas justru semakin besar. Pengalaman Rwanda pascagenosida memberi bukti: distribusi pangan yang adil menjadi kunci rekonsiliasi sosial dan pemulihan perdamaian.
Dalam konteks MBG, kegagalan bisa memperdalam ketidakpuasan sosial. Sebaliknya, keberhasilan dapat menjadi sarana merajut kepercayaan dan mengurangi jurang antara rakyat dengan pemerintah.
Dengan kata lain, sepiring nasi bisa menentukan apakah masyarakat merasa dipeluk oleh negaranya atau justru ditinggalkan. Kebijakan domestik seperti MBG juga membawa dampak internasional.
Martha Finnemore, pakar hubungan internasional, menegaskan bahwa standar keamanan manusia kini menjadi norma global yang mengikat.
Negara yang abai akan dikritik tidak hanya oleh warganya, tetapi juga oleh komunitas internasional.
Jika MBG sukses, ia bisa menjadi model pembangunan inklusif yang dipuji dunia. Vietnam misalnya, mendapat pengakuan PBB atas program School Meal yang menurunkan angka malnutrisi anak dalam waktu singkat.
Finlandia bahkan dianggap teladan global karena program makan gratis di sekolahnya berjalan lebih dari 70 tahun tanpa henti, berkat keterlibatan komunitas lokal, orang tua, dan pemerintah daerah.
Tetapi jika MBG gagal, ia bisa menjadi sorotan negatif di forum internasional, terutama ketika dunia menilai komitmen Indonesia terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya target menghapus kelaparan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar MBG tidak menjadi proyek politis sesaat.
Pertama, rantai pasok harus dipastikan menjangkau daerah terpencil, bukan hanya kota besar.
Kedua, standar gizi dan keamanan pangan wajib diperketat dengan audit independen.
Ketiga, partisipasi masyarakat lokal harus diperluas, agar warga tidak hanya menjadi penerima pasif tetapi juga pengawas aktif.
Keempat, integrasi dengan program kesehatan dan pendidikan harus nyata, bukan simbolik.
James Scott, ilmuwan politik, mengingatkan bahwa banyak program negara gagal karena terlalu birokratis dan tidak sensitif terhadap kondisi lokal.
Pelajaran dari Finlandia relevan: keberhasilan program makan gratis justru karena melibatkan komunitas, bukan hanya perintah dari pusat.
Sepiring nasi dalam program MBG terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung implikasi politik, sosial, dan internasional yang besar.
Ia bisa menjadi simbol nyata kehadiran negara dan alat rekonsiliasi sosial, atau sebaliknya, bukti kegagalan yang meruntuhkan legitimasi.
Amartya Sen mengingatkan bahwa kelaparan adalah kegagalan tata kelola, bukan sekadar kelangkaan. Barry Buzan menegaskan bahwa keamanan manusia adalah fondasi legitimasi negara modern. Roland Paris menekankan pentingnya layanan dasar untuk stabilitas sosial.
Pelajaran dari India, Brasil, Jepang, Vietnam, hingga Finlandia menunjukkan satu hal: program makan publik bisa menjadi sumber kebanggaan nasional jika dijalankan dengan keseriusan dan pengawasan ketat.
Keamanan manusia pada akhirnya tidak bisa dipisahkan dari sepiring nasi di meja makan rakyat.
Ketika nasi itu bergizi dan layak, rakyat merasa dihargai dan aman. Tetapi ketika nasi itu berisi belatung, rakyat merasa ditinggalkan.
Inilah ujian nyata bagi negara: apakah ia benar-benar hadir untuk rakyatnya, atau hanya hadir dalam slogan dan pidato.
Dalam konteks pembangunan nasional, isu sepiring nasi ini jauh lebih besar dari sekadar urusan teknis penyediaan makanan.
Ia menyentuh inti dari kontrak sosial antara negara dan warga, sebuah kontrak yang mengikat rasa percaya, loyalitas, dan legitimasi.
Negara yang gagal menghadirkan rasa aman pada level paling sederhana—makan yang layak—akan menghadapi konsekuensi serius.
Kepercayaan publik bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan proyek infrastruktur raksasa atau jargon politik, tetapi dibangun dari hal-hal kecil yang menyentuh kehidupan sehari-hari.
Program MBG bisa menjadi simbol hadirnya negara di ruang domestik, di meja makan, dan di perut rakyatnya.
Namun, jika ia dibiarkan berjalan tanpa pengawasan dan akuntabilitas, maka yang tersisa hanyalah kekecewaan mendalam yang merusak fondasi kepercayaan.
Pelajaran dari berbagai negara menunjukkan bahwa program makan bergizi bisa menjadi kebijakan strategis yang membangun bangsa, tetapi hanya jika dijalankan dengan serius, transparan, dan partisipatif.
Brasil dengan Fome Zero berhasil mengangkat jutaan orang dari kemiskinan ekstrem, Jepang menjadikan makan siang sekolah sebagai media pendidikan gizi, sementara Finlandia menjadikannya bagian dari budaya keseharian yang dijalankan lintas generasi.
Sebaliknya, India pernah menjadi sorotan negatif dunia karena kegagalan pengawasan program makan gratis yang berujung tragedi kemanusiaan.
Karena itu, sepiring nasi dalam MBG adalah refleksi yang menguji: sejauh mana negara menghormati rakyatnya? Apakah rakyat dipandang sekadar angka penerima bantuan, atau diperlakukan sebagai manusia bermartabat yang berhak atas pangan sehat dan aman? .
Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan bukan hanya masa depan program, tetapi juga kualitas demokrasi kita.
Pada akhirnya, masa depan bangsa ditentukan bukan oleh megahnya gedung pemerintahan atau megaprojek jalan raya, melainkan oleh sesuatu yang tampak sederhana: apakah setiap warga bisa duduk di meja makan dengan sepiring nasi bergizi, sambil merasakan bahwa negara sungguh-sungguh ada bersama mereka. (**)
Tentang Penulis:
Melyana R.Puguadalah peneliti dan dosen di bidang Ilmu Hubungan Internasional dengan minat pada isu Perbatasan Negara, isu pembangunan, isu keamanan manusia, dan kebijakan publik. Saat ini aktif sebagai Dosen Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih, dengan perhatian khusus pada Perbatasan,konektivitas, tata kelola, dan keadilan sosial di Indonesia.