Oleh : Melyana R.Pugu
GARIS-GARIS di peta sering tampak menawan: wilayah laut dibagi rapi ke dalam zona konservasi, pariwisata, permukiman, hingga industri. Narasi kebijakan terdengar meyakinkan dengan jargon “pembangunan inklusif” dan “pengelolaan berkelanjutan”.
Di atas kertas, zonasi pesisir seolah menjadi janji manis bahwa manusia dan laut bisa hidup berdampingan secara harmonis. Namun begitu kaki menapak di lapangan, realitas berkata lain.
Alih-alih melindungi ekosistem dan masyarakat pesisir, zonasi justru sering menjelma alat legalisasi eksploitasi. Nelayan kecil terpinggirkan, hutan mangrove ditebang, dan kawasan konservasi dipadati bangunan mewah yang menggerus ruang hidup laut.
Zonasi yang semestinya menjadi benteng konservasi malah berubah menjadi pintu masuk komersialisasi, meninggalkan jejak kerusakan yang jauh lebih dalam daripada garis indah di atas kertas.
Masalah ini tidak unik di Indonesia. Banyak negara menghadapi dilema yang sama: antara regulasi indah yang didesain di ruang rapat dengan realitas eksploitatif yang berjalan di lapangan.
Perdebatan tentang zonasi pesisir pada akhirnya menguji bukan hanya kapasitas negara dalam mengatur, tetapi juga sejauh mana ia menempatkan manusia dan alam dalam kerangka keamanan manusia (human security).
Konsep zonasi pesisir awalnya diadopsi dari kerangka Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang digaungkan oleh berbagai lembaga internasional sejak 1990-an.
Tujuannya sederhana: mengintegrasikan konservasi, pembangunan ekonomi, dan perlindungan masyarakat pesisir.
UNDP (1994) bahkan memasukkan aspek lingkungan sebagai bagian dari keamanan manusia, menekankan bahwa krisis ekologi dapat mengancam kehidupan setara dengan konflik bersenjata.
Namun, menurut Barry Buzan, negara sering kali gagal menjalankan keamanan non-tradisional ini karena lebih sibuk menjaga kedaulatan politik daripada kesejahteraan manusia.
Akibatnya, zonasi pesisir yang diatur indah dalam regulasi sering diabaikan di lapangan. Sebagai contoh, riset Center for International Forestry Research (CIFOR) menunjukkan bahwa di banyak wilayah Asia Tenggara, zonasi hutan mangrove hanya menjadi simbol di atas peta, sementara praktik tambak intensif dan penebangan liar terus berlangsung.
Brasil adalah salah satu contoh bagaimana zonasi pesisir menjadi ajang tarik menarik kepentingan. Program pengelolaan pesisir di negara itu pada awalnya dipuji karena memberi ruang konservasi.
Namun, kajian World Resources Institute mencatat bahwa tekanan industri minyak dan gas di wilayah pesisir Atlantik membuat regulasi zonasi kehilangan taring.
Alih-alih melindungi ekosistem, regulasi justru digunakan untuk melegitimasi ekspansi korporasi.
India menghadirkan contoh lain. Coastal Regulation Zone (CRZ) Notification yang diterapkan sejak 1991 bertujuan melindungi pesisir dari pembangunan berlebihan.
Namun, laporan South Asia Network on Dams, Rivers and People (SANDRP) menunjukkan bahwa aturan itu berkali-kali dilonggarkan untuk mengakomodasi industri pariwisata dan real estate.
Di Goa dan Kerala, hotel-hotel mewah berdiri di zona yang seharusnya dilindungi, sementara nelayan kecil tergusur dari ruang hidupnya.
Filipina juga pernah meluncurkan kebijakan zonasi pesisir yang ambisius. Namun, penelitian Marine Policy Journal menemukan bahwa lemahnya koordinasi antar lembaga membuat zonasi lebih banyak menguntungkan investor ketimbang masyarakat pesisir.
Ironisnya, program ini justru meningkatkan konflik horizontal karena masyarakat lokal merasa ruang hidupnya dirampas.
Di sisi lain, ada negara-negara yang relatif berhasil. Norwegia, misalnya, menerapkan Marine Spatial Planning dengan melibatkan komunitas lokal secara aktif.
Keputusan tentang zona budidaya ikan, pariwisata, dan konservasi dibuat bersama warga, bukan hanya oleh pejabat pusat.
Hasilnya, tingkat konflik sosial rendah dan praktik pengelolaan lebih berkelanjutan. Jepang juga menunjukkan keberhasilan lewat konsep Satoumi, yakni pengelolaan pesisir berbasis komunitas yang mengintegrasikan tradisi lokal dengan kebijakan negara.
Amartya Sen berulang kali menekankan bahwa persoalan kelaparan dan krisis ekologis bukan semata soal ketersediaan, tetapi soal tata kelola.
Pandangan ini relevan untuk zonasi pesisir: bukan masalah ada atau tidaknya regulasi, tetapi bagaimana ia dijalankan dan siapa yang diuntungkan.
Roland Paris menambahkan bahwa stabilitas sosial di wilayah rawan konflik sangat ditentukan oleh kemampuan negara memenuhi kebutuhan dasar.
Zonasi pesisir yang gagal justru memperbesar konflik, baik antara masyarakat dengan negara maupun antar kelompok masyarakat sendiri.
Kita bisa melihat pola ini di banyak daerah di Asia Tenggara, di mana proyek reklamasi yang dilegalkan lewat zonasi memicu demonstrasi besar-besaran. Martha Finnemore menyoroti pentingnya norma internasional.
Ia menyatakan bahwa standar global tentang keberlanjutan kini menjadi norma yang membentuk perilaku negara.
Dalam konteks zonasi pesisir, tekanan internasional—misalnya dari komitmen Paris Agreement atau SDGs—seharusnya mendorong negara untuk konsisten menegakkan regulasi.
Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, norma global sering kali hanya menjadi retorika.
Zonasi pesisir bukan hanya isu teknis, tetapi juga instrumen politik. Pemerintah sering menggunakan regulasi zonasi sebagai bukti komitmen keberlanjutan di forum internasional.
Namun, di tingkat domestik, regulasi itu bisa berubah menjadi alat kompromi politik dengan investor besar.
Inilah yang disebut Joseph Nye sebagai paradoks soft power domestik: negara ingin terlihat hijau di luar negeri, tetapi longgar di dalam negeri.
Pengalaman Vietnam cukup menarik untuk dicatat. Negara itu mendapat pengakuan internasional atas keberhasilan menurunkan degradasi ekosistem pesisir melalui program zonasi dan rehabilitasi mangrove.
Namun, laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagian program tersebut hanya berhasil di kawasan yang dekat dengan pusat kota, sementara daerah terpencil tetap diabaikan.
Artinya, zonasi bisa menjadi alat diplomasi yang ampuh, tetapi tidak otomatis menjawab kebutuhan rakyat kecil.
Apa yang bisa dipelajari dari berbagai kasus tersebut? Pertama, zonasi pesisir tidak boleh berhenti sebagai dokumen regulasi.
Ia harus disertai mekanisme pengawasan independen dan transparansi. Kedua, keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci.
Pengalaman Norwegia dan Jepang menunjukkan bahwa partisipasi aktif komunitas menghasilkan zonasi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Ketiga, negara harus berani menolak tekanan investor besar yang ingin melonggarkan aturan zonasi. Tanpa keberanian politik, regulasi akan selalu kalah dari kepentingan modal.
James Scott mengingatkan dalam Seeing Like a State bahwa banyak program negara gagal karena terlalu teknokratik dan mengabaikan pengetahuan lokal.
Zonasi pesisir yang hanya disusun di ruang rapat tanpa melibatkan nelayan, petani rumput laut, atau perempuan pesisir akan kehilangan legitimasi sosialnya.
Zonasi pesisir adalah cermin dari kontradiksi pembangunan: indah di atas peta, tetapi rapuh di lapangan. Regulasi bisa saja menyebut kata-kata mulia seperti “keberlanjutan”, “keadilan”, dan “inklusi”, tetapi praktik di lapangan menunjukkan eksploitasi, penggusuran, dan kerusakan ekologi.
Jika negara sungguh ingin menjaga legitimasi dan keamanan manusia, maka zonasi harus dilihat bukan sebagai proyek teknokratik, melainkan sebagai instrumen keadilan sosial dan ekologi.
Pelajaran dari Brasil, India, Filipina, Norwegia, Jepang, dan Vietnam menunjukkan bahwa kunci keberhasilan bukan terletak pada indahnya regulasi, melainkan pada akuntabilitas, partisipasi, dan keberanian politik.
Zonasi yang ideal adalah zonasi yang menjaga laut tetap hidup, masyarakat tetap sejahtera, dan negara tetap dipercaya.
Pada akhirnya, laut bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang kehidupan. Bila zonasi hanya menjadi pintu masuk eksploitasi, maka yang hilang bukan hanya ikan atau mangrove, tetapi juga rasa percaya rakyat pada negara. (**)
Tentang Penulis:
Melyana R.Puguadalah peneliti dan dosen di bidang Ilmu Hubungan Internasional dengan minat pada isu Perbatasan Negara, isu pembangunan, isu keamanan manusia, dan kebijakan publik. Saat ini aktif sebagai Dosen Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih, dengan perhatian khusus pada Perbatasan,konektivitas, tata kelola, dan keadilan sosial di Indonesia.